Senin, 24 November 2008

Dilema Penataan PKL

Dilema Penataan PKL
Oleh : Turah Untung

Pengesahan perda PKL di kota Tegal terkesan ditunda-tunda, sehingga pada satu sisi berimplikasi menjadikan kota Tegal sebagai “surga PKL”. Pengesahan perda PKL memang sering disalahartikan masyarakat sebagai bentuk yuridis formal penggusuran. Sebetulnya, perda PKL merupakan payung hukum karena di dalamnya memuat pasal-pasal yang mengakomodir keberadaan dan ruang berusaha bagi PKL.

Penanganan masalah PKL memang tergolong pelik, di beberapa daerah banyak mengalami benturan dengan PKL. Tayangan bentrok petugas Satpol dengan PKL menghiasi media baik cetak maupun elektronik, memberikan gambaran betapa keduanya sering tidak menemukan titik temu.

Meskipun demikian penundaan perda PKL tidak beralasan. Kita juga harus melihat kepentingan lain seperti keindahan kota, hak-hak lalu lintas bagi pihak lain seperti kendaraan dan pejalan kaki sering dikorbankan karena jalan dan trotoar sering diserbu PKL menjadi tempat dasaran.

Di kota Tegal sendiri barangkali menjadi kota yang teramat akomodatif terhadap PKL, salah satu contoh dibentuknya kawasan kuliner “Tegal Laka-Laka” di jalan protokol A Yani. Sebetulnya langkah ini cukup berani ketika Walikota mengakomodasi PKL jalan A.Yani menjadi kawasan PKL, karena kawasan ini berada dijalan protokol.

Meskipun langkah menjadikan jalan protokol sebagai kawasan kuliner sempat mendapat tentangan tetapi program penataan PKL jalan terus, karena Walikota berharap “Tegal Laka-Laka” bisa menjadi ikon kuliner Tegal sehingga bisa mendukung wisata kuliner.

Pemkot Tegal tentu menyadari keberadaan PKL tidak bisa dipandang sebelah mata sebagai sebuah kekuatan ekonomi kerakyatan. Karena sektor informal ini disamping padat karya juga tidak banyak membutuhkan modal pendiriannya. PKL juga memiliki peran sebagai penyumbang PAD cukup signifikan dan menjadi solusi jitu penanganan masalah pengangguran. Perputaran uang di sektor inipun tidak bisa diremehkan terutama bagi pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

PKL memiliki potensi yang besar apabila mereka ditata, karena sebagai wadah kegiatan ekonomi PKL ternyata mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak,yang tidak membutuhkan kualitas keterampilan secara khusus dan modal yang dibutuhkannya juga tidak terlalu besar sehingga sektor informal ini menjadi pilihan banyak orang untuk digeluti, sehingga pertumbuhannya relatif cepat.

Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan PKL di kota Tegal akhirnya sulit dikendalikan. Dampaknya, kota menjadi “lautan PKL” bayangkan saja untuk Kota Tegal yang demikian sempit, menurut data BPS Kota Tegal dengan luas wilayah yang hanya 39,68 kilometer persegi terdapat 6.467 usaha PKL. Artinya, secara rata-rata per kilometer perseginya tidak kurang didiami 163 PKL, dengan kata lain setiap satu meternya ada PKL. Suatu kepadatan yang relatif tinggi, besarnya populasi ini akan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap tata ruang kota, sosial, hukum dan ketertiban umum.

Kota menjadi terkesan semrawut, kumuh dan keberadaannya akan mengganggu keindahan kota. Apalagi keberadaan mereka pun terkesan tidak tahu aturan dengan menggelar dagangan pada wilayah-wilayah publik seperti trotoar, bahu jalan, bantaran kali, di atas saluran. Bahkan ada yang memanfaatkan taman kota untuk mendirikan tenda-tenda sehingga menghilangkan fungsi taman kota sebagai paru-paru hijau seperti di Taman Poci. Kondisi inilah yang sebetulnya harus menjadikan pemikiran Pemkot untuk melakukan penertiban .

Meski pada kenyataannya langkah penertiban sering tidak efektif. Karena penanganan masalah PKL sifatnya masih temporal belum menyentuh pada akar masalahnya. Sehingga model penanganan dengan pola penertiban sebetulnya sangat mahal harganya sementara efeknya hampir tidak ada. Bagaimana tidak, pada saat petugas Satpol melakukan penertiban PKL dapat menyingkir atau hilang karena digusur. Tetapi beberapa hari lagi akan muncul PKL dengan wajah baru di tempat itu juga.

Akibatnya posisi Pemkot menjadi sangat dilematis dalam penanganan masalah PKL. Pada satu sisi pemerintah mempunyai kepentingan menjaga keindahan kota sehingga sebagai regulator ia dituntut tegas dalam penegakan aturan dengan menertibkan PKL yang liar. Tetapi pada sisi lain pemerintah tidak dapat mengesampingkan faktor sosiologis, seperti perilaku masyarakat gurem yang perlu mempertahankan hidup dengan cara informal membangun usaha PKL untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya.

Aspek inilah yang mendasari mengapa perlu aturan main yang jelas sebagai payung hukum bagi penataan PKL berupa Perda. Dalam hal ini, memerlukan paradigma baru penanganan masalah PKL dari pola awal model penertiban kepada pola pemberdayaan. Barangkali dengan pola penataan inilah akan menjadi jalan tengah bagi pemecahan masalah PKL yang cukup rasional.

Penertiban tetap menjadi jalan akhir untuk mempertegas aturan bagi PKL yang menyalahi aturan. Karena bagaimanapun Pemkot harus pula mengakomodir kepentingan lain seperti kelompok pemilik toko yang halamannya sering digunakan PKL dan pengguna jalan .

Pola Pembinaan PKL

Ketika melihat pola pembinaan PKL yang perlu diperhatikan adalah seperti apa profil PKL kota Tegal itu. Sebetulnya akan menarik ketika kita mengamati tipologi PKL di kota Tegal. Barangkali karena Tegal secara genetis sangat dekat dengan komunitas PKL ditandai warganya memiliki mobilitas yang tinggi ke luar kota sebagai penggiat warung Tegal (Warteg), sehingga Pemkot Tegal memiliki kebijakan yang lebih akomodatif terhadap PKL.

PKL kota Tegal secara tipologi dapat dibedakan antara PKL yang merupakan perpanjangan tangan dari bandar (toko dan basement), pedagang musiman dan Pasar tumpah yang timbul karena tingginya dinamika ekonomi masyarakat sementara daya tampung Pasar tetap sehingga pedagang meluber ke jalan-jalan.

PKL sendiri bisa tetap eksis berdagang di tempat-tempat terlarang karena mendapat dukungan (backing) dari preman atau orang per orang yang dikenal sebagai koordinator. PKL sendiri tumbuh seiring dengan perkembangan kota. Mereka menguasai teori ekonomi berupa hukum penawaran-permintaan. Dimana ada keramaian,maka disitulah PKL tumbuh. PKL tahu betul kapan dan dimana mereka menggelar dagangannya. Seperti ketika di Kota Tegal dibangun Mall dan Super Market, maka merekapun tumbuh bagai satelitnya.

Penundaan pengesahan Perda PKL sebetulnya tidak beralasan karena kota Tegal memiliki cerita keberhasilan penanganan masalah PKL seperti ketika pemindahan Pasar Malam Alun-Alun ke Lapangan PJKA, pemindahan Pasar Mandipuran ke Pasar Pagi. Serta penataan PKL seperti di jalan Hang Tuah, jalan Merak, jalan Tentara Pelajar(PKL burung dan ikan hias), jalan Teri (Pokanjari) yang menjadi pilot proyek penataan PKL di Kota Tegal. Revitalisasi PKL di kawasan kuliner Tegal Laka-Laka.

Pola pembinaan PKL yang dilakukan Pemkot Tegal akan merubah asumsi awal pemda terhadap PKL yang tadinya dipandang sebagai “beban” kemudian dibina untuk menjadi potensi sumber PAD melalui retribusi.

Forum dialog bulanan ini kemudian bisa dipertajam cakupannya dengan menfasilitasi pembentukan paguyuban atau ikatan dengan pembentukan koperasi PKL. Nantinya, dengan Koperasi PKL ini bisa dijajaki kemungkinan kridit (lunak) usaha rakyat untuk pengembangan usaha.
Turah Untung adalah Staf Humas Kota Tegal.
Alamat: Debong Kidul rt:02/I Tegal Selatan